Sifat Dzat adalah merupakan manifestasi dari Asma dan Asma merupakan manifestasi daripada Dzat. Berarti Sifat juga merupakan manifestasi daripada Dzat. Di dalam setiap Sifat Dzat terkandung suatu potensi untuk bertindak dan berbuat yang akan menimbulkan akibat-akibat. Sebagai akibat penciptaan maka muncul kehidupan. Adanya kehidupan mengakibatkan munculnya kesadaran akan adanya Dzat. Bila tak ada kehidupan maka tidak akan ada yang menyebut Asma Allah.
Yang pertama kali mengajukan konsep sifat dua puluh dari DZAT adalah Abu Hasan Al Ashary, ulama besar pendiri mahzab Ahlussunnah Wal Jamaah yang ahli dalam Ilmu Kalam (ilmu Usuluddin). Konsep sifat dua puluh tersebut sampai saat ini telah dikenal dan diyakini oleh masyarakat Islam secara luas.
Pada waktu itu konsep Al Ahsary ini banyak mendapat tantangan dari para ulama lainya, diantaranya adalah Hambali dan Al Ghazali yang berpendapat bahwa masalah Ketuhanan tidak bisa dijangkau hanya atas dasar konsepsi akal manusia, Ilmu Kalam ajaran Al Ashary dianggap sebagai penyebab timbulnya silang pendapat diantara sesama Umat Islam.
Adanya perselisihan pendapat diantara para ahli Ilmu Kalam, para ahli filsafat Islam dan para ahli Ilmu Fiqih mengakibatkan umat Islam terpecah belah menjadi bermacam-macam aliran (mazhab), antara lain adalah Mazhab Hanafi, Mazhab Hambali, Mazhab Maliki dan Mazhab Safi’i.
Al Ghazali berhasil mempersatukan pola fikir para ahli syari’at Ilmu Kalam dan pola pikir ahli syari’at Ilmu Fiqih dan juga pola pikir mereka dengan para sufi ahli Tasawwuf. Menurut Al Ghazali : Pendekatan diri dan ma’rifat kepada Allah tidak bisa dilakukan melalui Ilmu Kalam maupun melalui Ilmu Fiqih, akan tetapi harus melalui jalan yang ditempuh oleh para sufi ahli tasawwuf yaitu : Bersihkan hati, istirahatkan pikiran melalui dzikrullah untuk mencapai fana dan kasyaf.
Jalan tersebut penuh dengan bermacam-macam tantangan dan ujian dari Allah yang harus diatasi dengan tetap berpegang pada Tali Allah, bersih hati, rasa kasih-sayang, ketawakalan, kesabaran dan keihklasan serta dzikrullah, mengingat Allah. Oleh karena dengan dzikrullah itulah hati akan menjadi tenang dan tentram, tidak akan ada perselisihan lagi, karena sadar bahwa Allah-lah Yang Maha Benar. Akhirnya mi’raj melalui proses fana dan kasyaf.
Kesempurnaan keberagamaan seorang adalah bila dia telah mencapai tahapan iman, islam dan ihsan. Iman bisa dipelajari melalui ilmu Usuluddin. Islam dipelajari melalui ilmu Fiqih. Ihsan hanya bisa dicapai melalui tasawwuf.
Al Kisah : Ada seorang yang bertanya kepada Rosulullah : Ya Rosulullah apakah Ihsan itu? Kemudian Rosulullah menjawab : Ihsan ialah keadaan ketika engkau menyembah Allah, seakan-akan engkau melihat NYA, bila sekiranya engkau tidak melihat NYA, maka Allah akan melihat engkau.
Para ulama Tasawuf mengatakan bahwa Syare’at tanpa Haqekat adalah hampa, sedangkan Haqekat tanpa Syare’at adalah batal…
Junaed Al Bagdady mengatakan : Syare’at tanpa Haqeqat adalah fasik, sedangkan haqekat tanpa Syare’at adalah zindik, bila seseorang melakukan keduanya maka sempurnalah kebenaran orang itu. Seorang sufi, dia fana dalam dirinya dan baqa dalam Tuhannya. Menurut beliau tasawuf adalah mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat tercela.
Menurut Asy-Syadzili tasawuf adalah praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan.
Ada juga yang mengatakan bahwa tasawuf adalah membina kebiasaan baik serta menjaga hati dari berbagai keinginan dan hasrat hawa nafsu. Tasawuf adalah ilmu untuk memperbaiki hati dan menjadikannya memasrahkan diri semata-mata kepada Allah. Jalan tasawuf dimulai sebagai ilmu, ditengahnya adalah amal dan pada akhirnya adalah karunia Allah.
Abu Bakar Aceh mengatakan bahwa Al Qur’an adalah sumber pokok, Hadits-Sunnah Rosul petunjuk pelaksanaan yang penting, sedangkan Tassawuf adalah urat nadi pelaksanaan ajaran tersebut.
Tasawuf adalah suatu seni perjalanan spiritual yang transendental, bukan merupakan pekerjaan intelektual melalui kajian ilmiah, bahkan menurut para sufi ilmu pengetahuan merupakan tabir yang sangat pekat.
Mengenai masalah mistik atau tasawuf ini Simuh cenderung memilih definisi dari kamus Inggris yang disusun oleh Hornby dkk yaitu :
Ajaran atau kepercayaan tentang haqekat (kebenaran sejati) atau Tuhan bisa didapatkan melalui meditasi atau tanggapan kejiwaan yang bebas dari tanggapan akal pikiran dan pancaindera. Ciri khusus tassawuf adalah proses fana dan kasyaf.
Tasawwuf sesuai dengan ajaran Al Ghazali secara garis besarnya adalah pelajaran tentang tata cara memurnikan atau mensucikan jasmani dan ruhani, mensucikan lahir dan batin agar bisa menjadi insan kamil yang mendapatkan keridhoan Allah… disertai dzikrullaah sehingga mencapai proses fana dalam dirinya, baqa dalam Tuhannya, musnah ke-aku-annya, tenggelam dalam Tuhannya. Akhirnya kasyaf terbukanya hijab. Dari tulisan-tulisan tentang tasawuf ini, jelas bahwa basis dari tasawuf adalah kesucian hati serta cara menjaganya dari segala hal yang bisa mengotorinya kemudian hasil akhirnya adalah hubungan yang benar-benar harmonis antara manusia dengan Penciptanya.
Dzat Allah merupakan sumber kehidupan. Akibat adanya sifat-sifat kehidupan muncul kesadaran akan adanya (keberadaan) Dzat. Bila tidak ada kehidupan (insan) maka tidak akan ada yang menyebut Asma Dzat (Allah), tak ada yang bersyahadat :
LAA ILAAHA ILALLAAH MUHAMMADAROSULULLAAH…
Pernyataan pertama Laa ilaaha ilallaah memberi nafas kehidupan kepada pernyataan kedua Muhammadarosulullah sedangkan pernyataan kedua menyatakan adanya Dzat Allah. Dengan demikian pernyataan pertama dan kedua sangat erat kaitannya, kedua-duanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain, merupakan suatu kesatuan dua kalimah Syahadat, dwi tunggal yang menurut istilah para sesepuh adalah loro-loroning tunggal, tunggal-tunggaling wisesa.
Artinya kurang lebih adalah : dua dalam kemanunggalan, manunggal dalam keEsaan Dzat Yang Maha Kuasa.
Dalam KeEsaanNya Dzat mempunyai bermacam-macam Asma dan bermacam-macam Sifat. Keberagaman Asma dan Sifat tidak menyebabkan Dzat bertambah menjadi lebih dari satu. Dalam ke Esaan Nya, Dzat tidak menjadi berjenis-jenis.
Sifat yang beragam, kebalikkan dan pertentangannya adalah satu didalam aspek keEsaan Dzat. Misalnya Asma Hadi (Yang memberi petunjuk benar) dan Asma Mudzil (yang menyesatkan), dimana Asma yang satu tidak mengganggu Asma yang lain. Dengan demikian :
Siapapun yang telah diberi petunjuk Allah, maka tak ada sesuatu apapun yang bisa menyesatkannya, dan siapapun yang telah disesatkan Allah, Rosulullahpun tidak bisa meluruskannya.
BARANG SIAPA YANG DIBERI PETUNJUK OLEH ALLAH MAKA DIALAH YANG DAPAT PETUNJUK DAN BARANG SIAPA YANG DISESATKAN-NYA, MAKA KAMU TAK AKAN MENDAPAT SEORANG PEMIMPINPUN YANG DAPAT MEMBERI PETUNJUK KEPADANYA ( AL KAHFI 18 : 17 ).
SIAPA-SIAPA YANG DIKEHENDAKI ALLAH DIBIARKAN NYA SESAT, SIAPA-SIAPA YANG DIKEHENDAKI ALLAH DITEMPATKAN NYA DI JALAN YANG LURUS. (AL AN’AM 6 : 39).
Sesungguhnya Dzat tidak mempunyai manifestasi apapun tanpa manifestasi dari Asma dan Sifat. Apapun yang ada, sifat baik maupun sifat jahat adalah merupakan akibat dari manifestasi Asma dan Sifat, bukan manifestasi dari Dzat.
Dalam hal ini harus kita ingat bahwa semua kebaikan berasal dari Allah. Dibalik ujian dari Tuhan yang terjadi pada diri kita itulah yang terbaik, karena selalu ada hikmah. Semua keburukan yang terjadi pada diri kita, itu karena ulah kita sendiri yang melenceng dari sunnatullah.
APAPUN KEBAIKAN YANG KAMU TERIMA, DATANGNYA DARI ALLAH APAPUN BENCANA YANG MENIMPA DIRIMU, KARENA KESALAHANMU.
( AN-NISAA 4 : 79 )
BERSABARLAH MENUNGGU KEPUTUSAN TUHANMU, SESUNGGUHNYA ENGKAU BERADA DALAM PENGAWASAN KAMI DAN BERTASBIHLAH DENGAN MEMUJI TUHANMU SEWAKTU KAU BANGKIT BERDIRI DAN BERTASBIHLAH KEPADA-NYA PADA WAKTU MALAM DAN TATKALA BINTANG-BINTANG TENGELAM DI SAAT FAJAR ( ATH-THUR 52 : 48-49 ).
Setelah kita menggali dan mempelajari kerangka teoritis atau hipotesa tentang Dzat serta penurunan martabat Dzat sampai kepada rincian Wahidiyyah maka secara garis besarnya akan tampak empat kerangka dasar dari hipotesa tersebut :
1. WUJUD (KEBERADAAN, ESENSI, EKSISTENSI).
Adalah merupakan manifestasi dari sesuatu yang sebelumnya tidak ada, menjadi ada. Dari bentuk imaginer (a’yan-I-tsabiita) dalam pengetahuan Tuhan, kemudian Tuhan yang menjadikan mereka wujud. Dari esensi Dzat, muncul eksistensi Dzat kemudian muncul kehidupan dalam tahapan Wahidiiyyah.
2. ILMU (PENGETAHUAN).
Adalah suatu konsepsi (ide) serta aktualisasi atau pembuktian dan perwujudan dari objek-objek yang diketahui. Hanya Tuhan yang memiliki semua ilmu. Dia Yang maha mengetahui segala sesuatu. Dari pengetahuan diri, menjadi pengetahuan akan kemampuan diri yang maha mendengar, maha melihat … kemudian terealisir menjadi panca indera.
3. NUR ( CAHAYA, KEPRIBADIAN, EGO ).
Adalah manifesatasi Diri Nya sendiri sehingga Dia tampak sebagai yang lain. Dia membimbing dengan Cahaya Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia adalah Cahaya langit dan bumi. Dia sebagai Nurul Ilman, Nurul Iman, Nurul Islam dan Nurul Ihsan.
4. SYUHUUD ( KETAATAN, KEKUASAAN, KEHENDAK ).
Kesadaran akan potensi diri akan menimbulkan ketaatan, kekuasaan dan kehendak. Dia sendiri yang maha taat akan janji Nya. Dia yang ditaati dan Dia adalah ketaatan itu sendiri. Dia membuktikan Ketaatan Dirinya sendiri melalui proses-proses Tanuzzulaat secara bertahap, merupakan suatu proses keluarnya yang ghoib (yang tidak tampak) dan internal (bathin) menjadi tampak (eksternal), merupakan proses penyaksian dari Dirinya Sendiri melalui Cerminnya sendiri.